Gegap gempita demokrasi negeri ini akan
kembali menggema, pasalnya pada bulan April 2014 sebuah perhelatan akbar akan
menyita perhatian publik dengan gelaran pemilu. Acara berbandrol triliunan
rupiah tersebut merupakan acara wajib bagi negara yang menerapkan demokrasi
sebagai sistem pengaturan pemerintahannya.
Tak ayal lagi,
pembahasan tentang demokrasi pun menjadi sesuatu yang terus mengemuka baik
mendudukan hukum demokrasi itu sendiri dalam timbangan Islam maupun dari sisi
kalkulasi dan kultur.
Dari timbangan syariat Islam telah disepakati bahwa demokrasi
adalah sistim kufur, sehingga haram bila dijadikan sebagai wasilah perjuangan
menegakan syariah Islam. Namun ada juga yang masih memaknai dengan syirkun akbar dhohiroh (syirik
besar yang jelas) atas syirkun akbar khofiah (syirik
besar yang masih samar).
Tak tuntas hingga
disitu, masih ada sisi lain yang muncul dengan adanya perdebatan tentang
memperjuangkan Islam lewat demokrasi apakah mereka kafir murtad mutlaq atau sekedar
melakukan hal yang di haramkan dalam Islam tapi tak sampai di hukumi kafir.
Bahkan, muncul
statement nyeleneh dan syubhat baru dengan predikat “SYUHADA PARLEMEN” untuk
para aktivis Islam yang gugur karena memperjuangkan Islam lewat parlemen yang
berasaskan demokrasi.
Narasumber ahli kami kali ini dengan menghadirkan sejumlah
keterangan para asatidz yang kami hubungi secara langsung via telefon untuk
memberikan keterangan yang ada terkait kebathilan istilah
tersebut.
Narasumber pertama adalah Ustadz Ade Hidayat, beliau adalah
salah satu pengasuh senior di Ma’had Al Mukmin Ngruki Surakarta, saat sesi
wawancara via telepon (7/12/2013) beliau mengatakan dengan tegas bahwa
yang namanya ‘syuhada’ itu sudah menjadi istilah qur’ani, dan maknanya sesungguhnya
adalah mereka yang yuqotiluna fi sabilillah yaitu berperang di jalan Allah.
Berarti memang
orang yang ingin menegakan aturan Allah dan bercita-cita untuk menegakan aturan
Allah, sehingga dia mengorbankan harta dan jiwanya puncaknya berperang. Kalau
hal itu di berikan kepada para anggota parlemen meskipun meniatkan kebaikan
maka hal itu jelas tidak benar.
Karena kebenaran
itu tidak cukup hanya dengan niatan yang baik, tetapi perlunya ada keselarasan
dengan sunnah Nabi. Adapun jalan yang tepat untuk meraih syuhada’ itu dengan
dakwah dan jihad bukan dengan demokrasi”. Demikian uraian Ust Ade Hidayat yang
khas dengan tutur kata lembut dalam setiap penyampaiannya.
Ditegaskan pula
oleh Ustadz Hazim Hasan, LC pengasuh Mahad Aly Darul Anshor di Blora “itu
termasuk subhat, kita kan tahu parlemen itu symbol kesyirikan, nanti
khawatirnya muncul syuhada kuburan, jadi kita itu jangan membuat istilah yang
ada subhat apalagi memakai istilah symbol kesyirikan”
ungkapnya (9/12/2013) .
Jadi kalau apa
yang kita maksudkan adalah orang yang datang ke parlemen terus dia mengatakan
bahwa apa yang kamu lakukan ini adalah haram sehingga dia di bunuh maka cukup
dia di katakan syahid. Jangan pakai istilah syuhada’ parlemen.
“Kalau yang dia
maksud itu syuhada’ parlemen dengan tujuan menegakkan syariat dengan tegas maka
itu fatal, bagaimana dia akan memperjuangkan Islam, dia masuk di parlemen saja
dia itu sudah batal syahadatnya kan… parlemen itu asasnya demokrasi, sedangkan
demorasi itu membatalkan syahadat, karena demokrasi itu kesyirikan yang nyata…”
tambahnya
Jadi tidak benar
dong kata Allah dalam Al Quran surat Al A’raf 71 : “Sungguh sudah pasti kamu
akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu”. Apakah kamu sekalian hendak
berbantah dengan aku tentang Nama-nama (itulah) yang kamu beserta nenek
moyangmu menamakannya, Padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk
itu?” ujarnya lagi
Maka tunggulah
(azab itu), Sesungguhnya aku juga Termasuk orang yamg menunggu bersama kamu”.
Kalau ada ang mengatakan ayat ini idak benar antuf suda tahu bagaimana hukumnya
orang itu.” Demikian penjabaran Ustadz yang lama belajar di Sudan ini.
Setali tiga uang
dengan Ustadz Said Sungkar, ia memberikan logika sederhana tapi mudah di terima
“ada air zam zam seember besar tapi di kasih dua sendok kotoran apakah
ini bisa di katakana air murni? Nah syirik itu dosa yang paling besar,
mungkinkah orang yang mengatakan syirik itu bisa mendapatkan syahid?”
tanyanya (7/12/2013)
Kemudian Ustadz
Said melanjutkan “Saya hanya melihat dari realita yang ada, dari mulut-mulut
yang katanya mau memperjuangkan Islam di parlemen, tatkala Islam mau di
hinakan, mereka masih mau berangkulan dengan orang kafir, sedangkan dalam surat
al mujadalah ayat 22 Allah mengatakan tidak pernah seumur hidup antum, orang
yang bertauhid bermesraan dengan musuh Allah, bahkan dalam ayat itu di sebutkan
bapaknya atau anaknya”
Di akhir
penyampaian beliau mengatakan “sedangkan kita melihat mereka itu yang akan
berjihad di parlemen, dia ketawa-tawa, dia berangkulan bahkan mereka rela Islam
di hinakan, satu contoh sudah, tanya yang sudah duduk di parlemen, tatkala
i’dad di Aceh dikatakan teroris, apa yang dia lakukan?
Ini pelecehan
terhadap Islam, bayangkan saja ada satu pertunjukkan di mal Bekasi Square yang
menghadirkan group band Edane dan Ras Muhammad dalam bakti sosial kristenisasi
Gereja Bethel Indonesia. Lalu apa yang di katakan orang-orang di parlemen? Lalu
kalau begitu jihad yang mana?” demikian uraian ustadz sepuh ini.
Tak mau
ketinggalan, Ustadz Mustaqim, seorang ustadz alumni Tambak Beras Jombang yang
menyelesaikan S1 dan S2 di Mesir dengan tegas beliau sampaikan (7/12/2013)
“kalau syuhada’ parlemen itu sampai ada, saya khawatir lama kelamaan ada
istilah syuhada’ pelacur. Yang penting itu pijakan awal, yang namanya parlemen
itu konsepnya demokrasi, sedangkan demokrasi itu kufur dan syirik, maka
siapapun yang masuk dan mati dalam kondisi itu, dia kafir murtad”
Kemudian ustadz
dengan julukan “Singa Tauhid dari Pantura” ini memberikan penjelasan “kalau toh
itu benar, apa ada seorang DPR yang mengatakan apa adanya sistem kafir ini?
Belum pernah ada, karena orang yang masuk dalam comberan tidak mungkin keluar
sebagai permata dan itu tidak akan pernah ada selama cara yang di pakai pijakan
itu keliru.”
Demokrasi itu
yang memunculkan adalah orang-orang kafir, maka mau tidak mau orang yang masuk
di dalamnya akan ikut orang kafir itu, jika syuhada’ parlemen itu dibiarkan,
itu pasti akan muncul syuhada’ pelacur dan sebagainya, sedangkan kalau dia
masih mau di sebut sebagai orang yang berakhlakul karimah, maka dia harus
keluar dari parlemen” .
Terakhir dari
ustadz Abu Azzam yang menjabat sebagai Direktur Ma’had Islam Salman Al Farisi
di Karanganyar Jawa Tengah. Beliau berpendapat “Jadi kalau saya berpesan jangan
berharap berjuang melalui parlemen bisa memenangkan Islam. Kemudian di
Indonesia ini tidak ada lagi partai dakwah tapi yang ada adalah dakwah partai.
Terus jangan pernah menamakan istilah-istilah baru dalam ajaran Islam,
seperti syuhada parlemen”
Kemudian beliau
menjelankan “yang namanya syuhada’ ya di medan jihad, orang jihad itu tidak
bisa di samakan sebagaimana dalam surat At Taubah, orang yang memberi minum di
masjid haram itu tidak sama dengan orang yang berjihad dan tidak ada dalilnya
syahid karena parlemen, kalau orang tenggelam, itu malah ada dalilnya kalau
syahid, jadi tidak ada orang yang mati karena di parlemen itu dikatakan syahid,
itu gak ada dalilnya.
Di akhir
penyampainya beliau menghimbau kepada umat “Ini adalah istilah baru, bahkan
saya tidak merekomendasikan, bahkan untuk menjauhi kalimat-kalimat itu, jangan
pernah kembali lagi, tidak ada dakwah melalui parlemen yang ada adalah kita
bersabar dengan ujian di dalam Islam ini. Bersabar dengan dakwah dan jihad
jangan bermain-main dengan demokrasi. Istilah baru itu adalah bidah”
Demikianlah
beberapa narasumber yang langsung kami hubungi, mereka semua sepakat bahwa
istilah SYUHADA PARLEMEN” adalah sebuah istilah yang di ada-adakan dan tak
layak kita menyematkan predikat syuhada pada pejuang demokrasi, baik dia
seorang yang benar-benar ingin meneriakkan syariat di dalam parlemen atau
tidak. Wallahua’lam bishowab. [Ukhwatuna/KLS/jundi/voaislam/dais]
(Sumber: http://www.daulahislam.com)
(Sumber: http://www.daulahislam.com)
0 comments:
Post a Comment